Pertemuan dengan Uskup Agung York, John Sentamu
Fiodar (Belarusia)
Ada kalanya kita bertemu dengan seseorang dan kita kemudian dapat mengatakan bahwa mereka hidup dan menghayati Injil. Inilah yang saya rasakan saat saya ikut serta dalam eprtemuan dengan Uskup Agung York, John Sentamu. Hal pertama yang mengejutkan saya ialah kesederhanaan dalam tindakan dan perkataannya. Dia bukanlah seseorang yang datang dan ingin menonjolkan tingkat sosial, kekayaan pengalaman yang dimilikinya atau kualitas dirinya. Dia adalah seseorang yang memahami bahwa Injil bukanlah monumen atau obyek dari penelaahan teologis. Injil bukanlah sarana untuk hidup, Injil adalah kehidupan itu sendiri. Rasionalisme bukanlah menjadi penekanan utama dalam pidatonya dan hal inilah yang membuatnya semakin dekat dengan para nabi dalam Alkitab. Baginya, peristiwa inkarnasi dan kebangkitan bukanlah kejadian yang menjadi milik masa lalu, dua peristiwa tersebut memperbaharui kehidupan kita sehari-hari. Tidak ada yang dapat mengabaikannya begitu saja!.
Berdoa setiap hari bagi persatuan umat Kristiani
Brigid (Australia)
Minggu ini, dalam sebuah kelompok kecil kaum muda, kami mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dengan Pastor Father Gabriel Quicke dari Dewan Kepausan bagi persatuan umat Kristiani di Roma. Kami dapat berbagi dengannya pengalaman-pengalaman ekumenisme dan dialog antar agama di beragam negara. Sangat menguatkan sekali mendengar para kaum muda dapat berbagi pendapat secara bebas dengan orang-orang dari benua lain dan dari beragam tradisi gerejawi.
Pastor Quicke juga membagikan secara terbuka dan tulus tentang kehidupan dan pengalaman-pengalamannya dalam misi pastoral. Dia menggaris bawahi keperluan untuk bergerak maju ke arah persatuan umat Kristiani dan pada saat yang sama merayakan dan mendukung keberagaman yang penuh dengan tradisi yang sangat kaya. Dia juga menekankan pentingnya untuk berdoa setiap hari bagi jalan persatuan. Menjadi umat Kristen pertama-tama adalah untuk mengasihi: dan menghayati kasih ini dengan mereka yang berada di sekitar kita, akan medekatkan kita pada rekonsiliasi antar sesama manusia. Bagi saya saran ini sungguh menguatkan. Di Taizé kami menghidupi ekumenisme ini secara alamiah namun kami menyadari bahwa hal yang sama belum tentu dapat kami hayati dengan mudah di tempat di mana kami tinggal.