TAIZÉ

Rwanda

Sebuah kunjungan di bulan April – Mei 2009

 
Di bulan April-Mei 2009, dua bruder dari Taizé mengunjungi Rwanda di mana mereka berjumpa dengan para kaum muda yang pernah ikut serta dalam pertemuan di Nairobi, sebuah tahapan ziarah iman di bumi, di bulan November 2008.
JPEG - 15.2 ko

Daerah Kibuye

Di Kigali, Butare, Kabgayi, Kibuye dan Ruhengeri, kami berjumpa dengan mereka yang dulu pernah ikut serta dalam pertemuan di Nairobi. Saat itu, kehadiran sekitar 260 kaum muda dari Rwanda sungguh meninggalkan kesan yang mendalam bagi warga Kenya. Kami pikir ada baiknya untuk menyampaikan kepada mereka pesan ini dan berterima kasih atas tekad mereka untuk melakukan perjalanan tersebut. Setelah bersama-sama menyaksikan sebuah film tentang Ziarah Iman di Nairobi, masing-masing dari mereka mendapat kesempatan untuk membagikan hal-hal apa saja yang telah menyentuh mereka secara khusus. Beberapa tema yang akrab terdengar muncul ke permukaan kembali: sambutan yang hangat dan penuh perhatian yang ditawarkan oleh para keluarga penyambut, makna persatuan di tengah-tengah hadirnya perbedaan asal-usul dan latar belakang, saat hening yang menjadi pusat setiap acara doa. “Kami tidak tahu siapa mereka dan datang dari negara manakah mereka bahkan tidak berbicara dalam bahasa yang sama namun kami dapat saling berkomunikasi. Kami lihat mereka agak malu-malu, sama seperti kami, saat harus membagikan tentang iman dan berbicara tentang hidup batin mereka.…”. “Anda dapat merasakan getaran emosi yang muncul saat mereka membagikan pemikiran-pemikiran serta perasaan-perasaan terdalam yang mereka miliki.” Agar gagasan ini dapat terus berlanjut untuk jangka waktu yang panjang maka kaum muda di Kigali membentuk kelompok yang mereka beri nama “Rukun Harapan.” Mereka saling bertemu sekali tiap tiga bulan untuk berdoa bersama dan saling berbagi pendapat dalam kelompok kecil. Di Kabagayi mereka berencana untuk berpencar dalam kelompok-kelompok kecil untuk kemudian mengadakan kunjungan serta membagikan pengalaman mereka di dua puluh lima paroki pedesaan.

Kibuye dipadati oleh para warga yang menghindari ibu kota pada saat liburan akhir pekan! Pemandangan di sana sangat indah, dengan lereng-lereng yang penuh hutan lebat dan turun hingga danau Kivu yang memantulkan pemandangan yang berganti-ganti. Ditandai dengan pulau-pulau yang berhutan lebat, daerah pinggiran danau dipenuhi oleh anak-anak sungai yang tak terhitung banyaknya. Beberapa perahu ferry kecil menyeberangkan para penumpang dari satu sisi ke sisi yang lain, seorang petugas berteriak untuk menarik perhatian para calon penumpang, kemudian para penumpang bernyanyi sambil memukul tamborin untuk memberi semangat kepada para pendayung. Di malam hari, cahaya kemerah-merahan muncul di cakrawala bagian Utara: danau lava yang terdapat di kawah gunung Nyiragongo terbias dalam gugusan asap yang naik dari puncak gunung berapi itu. Namun pemandangan tersebut juga memendam luka-luka menyedihkan dari negeri ini. Di keseluruhan sisi-sisi gunung terdapat lahan-lahan kosong, petak-petak tanah yang luas yang terabaikan dan tidak tersentuh serta rumah-rumah yang terbuat dari batu bata yang dibiarkan menjadi reruntuhan. Di daerah ini, upaya pembersihan etnis dilakukan dengan lebih keras bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

JPEG - 28.1 ko

Pemakaman kembali 127 jasad korban pembersihan etnis,
- "memorial of Saint John Home", Kibuye, 2 Mei 2009

Pada hari Sabtu tanggal 2 Mei, bersama dengan penduduk setempat dan para pendeta dari berbagai gereja kami mengadakan acara doa bersama untuk mengenang peristiwa pembersihan etnis… Selama satu setengah jam, beberapa orang bergiliran membacakan nama-nama korban yang tertera dalam 38 lembar kertas. Walaupun demikian, ini hanyalah satu bagian kecil dari korban yang berjumlah kurang lebih 11,400 yang terbunuh hanya dalam waktu satu hari di satu paroki ini saja. Setelah itu diadakan acara pemakaman kembali sisa-sisa jasad dari ke 127 korban yang ditemukan baru-baru ini di bukit-bukit daerah ini. Doa-doa disampaikan oleh perwakilan dari Gereja-gereja dan Masjid; para korban yang selamat dari pembunuhan juga menyampaikan kesaksian-kesaksian mereka, pejabat-pejabat pemerintahan setempat juga menyampaikan pidato resmi mereka…mereka adalah Gubernur, Walikota dan dua utusan yang datang dari Kigali untuk berbicara di depan masyarakat yang hadir saat itu.

Minggu 3 Mei, Perayaan Ekaristi di perkemahan para pengungsi di Kiziba, tempat tinggal dari 18,000 warga Kongo dan berbahasa Rwanda, mereka adalah para pengungsi yang pergi meninggalkan negeri mereka sejak tahun 1996… Warga masyarakat sangat berterima kasih dapat saling bertemu dalam suasana persaudaraan. Paduan suara kaum muda mempertunjukkan kebolehan mereka. Mereka kemudian bersinar penuh bangga saat diumumkan bahwa mereka akan ebrtanggung jawab untuk memimpin jalannya perayaan yang akan diadakan dalam acara Pertemuan Kaum Muda Diosesan nantinya. Dua puluh kilometer tidak menggoyahkan mereka untuk terus berjalan menuju tempat pertemuan. Isabelle, seorang biarawati Spanyol adalah penanggung jawab sekitar 200 pekerja sosial…

Dari minibus yang mengantarkan kami dari Kibuye ke Kigali, dari lereng-lereng dari tanggul Kongo-Nil, sejauh mata memandang, kita dapat lihat gugusan punggung-punggung bukit yang paling tidak sekitar dua belas jumlahnya. Pohon-pohon ekaliptus memantulkan warna keperak-perakkan, sangat berlawanan dengan warna kuning tua dari tanah di sekitarnya serta hamparan bayang-bayang hijau yang akhirnya berpendar di batas cakrawala yang berwarna kebiru-biruan. Juga terlihat rumah-rumah kecil dari bahan batako dengan atap dari genting gaya Roma yang bersarang di bawah pohon-pohon pisang. Hanya sungai-sungai kecil yang tampak berusaha menemukan jalannya menembus bukit-bukit yang berliku-liku. Di tempat di mana lembah semakin melebar maka tanaman-tanaman papirus ditebang dan lahannya yang subur digunakan untuk menanam jagung, ubi jalar dan kubis. Di setiap persimpangan jalan tanah, banyak pengendara ojek sepeda yang menunggu penumpang. Saat mendekati daerah pedesaan atau saat menuju ke sebuah pasar, kita lihat banyak orang yang bepergian dengan berjalan kaki…

JPEG - 29.1 ko

Kebaktian Minggu pagi di sebuah kamp di Kiziba

Di balik wajah-wajah penuh senyum orang-orang Rwanda, terdapat beban penderitaan masa lalu, kerasnya hidup sehari-hari dan begitu banyaknya tantangan-tantangan yang masih harus mereka hadapi. Dr Ezechias Rwabuhihi telah membaktikan hidupnya bagi kepentingan negeri. Pertama-tama sebagai Menteri Kesehatan dan kemudian sebagai wakil rakyat di parlemen. “Usaha-usaha keras dibutuhkan untuk membuat negeri ini berdikari. Pemulihan keamanan, pembangunan kembali dan pembenahan segala infrastruktur yang telah dirusak serta pembangunan kembali lembaga-lembaga pelayanan masyarakat sudah merupakan awal yang baik. Usaha-usaha ini memberi dukungan dan membuat kami bersemangat namun kami tidak ingin hanya berhenti sampai di situ saja. Kerja utama dari Pengadilan Negeri setempat mendekati tahap akhir. Juga langkah untuk mengusahakan pemasyarakatan kembali negara Rwanda di tengah-tengah Komunitas Afrika Timur menjadi langkah penting untuk membuka kembali negeri tanpa laut ini, yang sudah terlalu lama terkungkung dan dibiarkan sendiri dengan segenap sumber-sumber daya yang mereka miliki. Tantangan terbesar kami adalah bagaimana menghapuskan kemiskinan yang menjadi citra kehidupan dari sebagian besar penduduk negeri ini. Banyak pekerjaan yang masih harus kami lakukan.”

Walaupun berlawanan sama sekali dengan keadaan ibu kota Rwanda yang sangat dinamis dan banyaknya pekerjaan pembangunan gedung-gedung yang sedang dilakukan, masih banyak orang yang menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup parah. “Seringkali kami dihadang oleh para ibu atau bahkan anak-anak yang memohon diberi makanan. Ketika saya sedikit lebih baik memahami keadaan mereka, saya sangat kaget dengan keberanian mereka. Rwanda adalah satu-satunya negara di Afrika di mana saya melihat banyak para perempuan pekerja bangunan naik hingga puncak perancah di tempat di mana gedung-gedung sedang dibangun,” demikian penjelasan seorang penduduk dari Kicukiro. Di daerah-daerah pedesaan, jumlah rata-rata tanah yang mereka miliki adalah setengah hektar: tidak selalu cukup untuk memberi makan sepuluh mulut sekaligus. Daerah lembah yang berawa-rawa dikembangkan untuk menjadi daerah penanaman padi. Para tahanan, agar dapat menerima pengurangan hukuman, memilih untuk melakukan kerja kemasyarakatan dengan membangun terasering yang dapat mengurangi hilangnya kesuburan tanah akibat tanah longsor serta dapat meningkatkan jumlah areal tanah yang dapat ditanami. Pendidikan, pelatihan dan proyek-proyek mandiri merupakan kunci-kunci penting menuju pembangunan. Di sini dapat ditemukan banyak gagasan-gagasan lain dan Gereja-gereja memainkan peran yang sangat penting.

JPEG - 17.9 ko

Pemandangan umum di kamp Kiziba

Tahun ini, komunitas para diakon di Rubengera merayakan hari ulang tahunnya yang ke-25. Para biarawati ini, yang mana seluruhnya datang dari berbagai tradisi Gereja Protestan, melayani masyarakat setempat melalui proyek-proyek pembangunan: panti-panti asuhan, kunjungan ke mereka yang miskin dan terisolasi, sebuah usaha pembuatan roti, usaha cocok-tanam, bengkel tata busana, usaha kerajinan kartu-kartu yang dibuat dari daun-daun pisang… Mereka ikut ambil bagian dalam pelayanan pastoral dari jemaat setempat serta menawarkan bantuan kerohanian.

Di gedung utama pusat diosesan Ruhengeri, Pastor Janvier menjalankan usaha pelatihan kerja bagi para remaja putri dan para pemudi: para penata rias rambut mencoba unjuk kebolehan satu sama lain, sedangkan yang lainnya mengayuh pedal mesin jahit atau sedang berusaha keras melakukan kerajinan bordir. Beberapa kilometer dari tempat ini terdapat sebuah kampus universitas yang masih baru, tempat belajar sekitar dua ribu mahasiswa.

Gereja-gereja tidaklah luput dari tragedi di tahun 1994 dan segenap imbasnya. Walaupun demikian semakin banyak orang saja yang datang ke Gereja, jauh lebih banyak dari sebelumnya. Bahasa yang digunakan dalam liturgi, nyanyian-nyanyian serta bagian-bagian Kitab Suci yang dibacakan bergaung seiring dengan sejarah yang mereka lalui. Di sinilah banyak dari mereka yang menemukan jalan penghiburan dan kehidupan. Gereja-gereja berlipat ganda jumlahnya, bahkan hanya dalam waktu seminggu. Empat ratus imam ditahbiskan sejak tahun 1994, jumlah ini jauh melampaui jumlah imam yang ditahbiskan antara tahun 1917, tahun permulaan karya misi, dan tahun 1994! Saat ini sekitar 270 seminaris yang sedang mempersiapkan diri belajar di Seminari Tinggi.

Begitu banyak penderitaan yang menggunung dan tidak mudah untuk mengungkapkannya. Sedikit demi sedikit, sinar menerangi kegelapan saat warga masyarakat mulai berbicara dan tangis dukacita dapat dilakukan setiap kali jasad korban ditemukan. Memberikan sebuah upacara pemakaman yang sepantasnya merupakan salah satu unsur penting dari tahap-tahap penyembuhan dan hal ini memampukan mereka yang luput dari tragedi ini untuk meneruskan kembali kehidupannya.

JPEG - 22.5 ko

Seorang pengungsi

Menemukan seseorang yang dapat kita percayai adalah satu hal yang tak ternilai harganya. “Kita dapat menawarkan kepada sesama kita telinga yang penuh perhatian. Seingkali seseorang akan mengaku, ‘Saat itulah pertama kalinya saya menyampaikan segala sesuatunya kepada orang lain.’ Kadang kala dibutuhkan beberapa kali pertemuan. Bahkan jika kita tidak dapat menyelesaikan segenap permasalahan yang ada, mendengarkan adalah satu langkah awal yang penting. Beranjak dari sana, satu awal yang baru dapat dilakukan. Saya senantiasa mendapatkan dukungan yang luar biasa setiap kali bertemu dengan mereka yang telah kehilangan segala sesuatu yang mereka miliki namun yang kemudian dapat meneruskan kembali kehidupannya,” ungkap Suster Kecil Stephanie. Seiring melihat mereka melanjutkan kehidupan, saya kemudian menyadari bahwa dalam diri setiap warga Rwanda bersemayam sebuah sumber harapan, “ ungkap Martha, dari Putri Hati Maria di Butare.

“Hanya dengan menyuarakan seluruh bentuk penderitaan sajalah kita dapat dengan penuh percaya diri berbicara tentang apa artinya hidup bersama. Dan hanya melalui persaudaraan yang bersatu inilah saksi-saksi yang sesungguhnya dapat bersaksi,” tegas François Xavier, pimpinan komunitas.

Saat dilakukan penempatan kerja, para mahasiswa psikologi klinis dari Butare menyadari beban tantangan yang menghadang pekerjaan mereka. Mereka memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok, kelompok ini mereka namakan “Kelompok bagi Kehidupan” untuk mendukung satu sama lain dengan saling membagikan pengalaman mereka dan dalam doa.

Pastor Innocent kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam tragedi pembasmian etnis. Biarpun demikian dia adalah satu dari mereka yang ditahbiskan pertama kali setelah peristiwa di tahun 1994. Hari ini, dia bertanggung jawab atas sebuah paroki yang cukup besar yang terletak di dekat Bandara. Sebagaimana mereka lainnya yang telah mengalami tragedi, dia memulai dengan mengungkapkan segenap pengalaman hidupnya sebelum kemudian melanjutkan:”Secara manusiawi, sungguh sulit untuk dapat dipahami apa yang telah terjadi. Pertama kita berpikir bahwa kiamat telah datang. Kemudian perasaan tersingkir muncul dengan kuatnya: kami merasa bahwa seluruh dunia mengabaikan kami. Seiring dengan tahun-tahun yang berlalu, perasaan ini sedikit demi sedikit menjadi lebur, saat kami merasa didengarkan dan dipahami. Beberapa orang tergoda untuk mencari bantuan dan penghiburan dari "luar" namun daripada hanya sekedar melarikan diri ke dunia semu, Anda harus membantu mereka untuk menyelam ke dalam "ruang bawah tanah" mereka, yaitu hati mereka yang terdalam. Hanya dengan memeriksa apa yang mereka temukan di sana dalam terang cahaya Kristus mereka akan dapat muncul kembali ke permukaan, bebas dari belenggu mereka. Menemukan diri kita seorang diri di tengah segenap penderitaan mengajar kita untuk saling menggantungkan diri satu sama lain. Sebelumnya, kita seringkali terpuruk dalam hubungan ketergantungan yang hanya mengandalkan kekuatan paternalistik. Sekarang kita sudah menjadi dewasa. Gereja di lingkungan ini merupakan Gereja terbesar kedua di negeri ini dan seluruh pembangunannya dibiayai sepenuhnya melalui sumbangan jemaat. Pertama kalinya hal ini dapat terwujud dan pencapaian ini menunjukkan bahwa kami mampu.”

Di sepanjang pertemuan-pertemuan yang kami lakukan, kami juga mendengar pengalaman dari mereka yang tidak menyerah kalah pada rasa takut atau kejahatan yang merajalela, merekalah yang telah menyembunyikan, melindungi atau memberi makan para tetangga mereka atau bahkan sering kali mereka yang telah mengorbankan diri mereka sendiri saat tragedi berlangsung. Kami juga berjumpa dengan orang-orang, yang setelah melalui pergumulan pribadi yang panjang, menemukan kembali kebebasan batin dan yang saat ini membaktikan diri mereka memberikan pelayanan bagi sesama mereka yang lain. Setiap tapak-tapak yang berbeda ini memberikan kesaksian bahwa manusia mampu untuk membebaskan dirinya dari rasa benci, kepahitan dan hal-hal yang tidak masuk akal serta menghidupkan kembali citra-citra pribadi yang murah hati dan rela mengorbankan diri yang telah kabur, memberikan diri mereka sepenuhnya kepada sesama yang lain… Di sini dapat ditemukan banyak harta terpendam yang sekaligus menantang dan memberi semangat kepada sesama yang lain, tanpa memandang asal-usul atau keadaan kehidupan mereka saat ini.

Terakhir diperbaharui: 15 Juni 2009