Renungan Alkitab Bulanan
Januari
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya:“Bukan!, Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”“Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak istrerinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." (Matius 18:21-35)
Matius 18 menghimpunkan beberapa perkataan-perkataan Yesus yang berkenaan dengan kehidupan bersama dari para muridnya. Ketiga pasal terakhir berbicara tentang pengampunan. Tanpa pengampunan, tidak akan pernah ada kehidupan bersama, tidak akan ada Gereja.
Petrus adalah yang pertama bertanya tentang hal tersebut. Dia tahu bahwa, bahkan di antara para murid, akan ada beberapa salah pengertian, ketegangan-ketegangan, perkataan dan tindakan-tindakan yang menyakitkan. Dia sudah tinggal dekat dengan Yesus cukup lama, karena itu dia mengenal dengan baik bahwa pengampunan adalah satu-satunya jalan untuk menembus kebuntuan-kebuntuan yang diakibatkan oleh dosa. Itulah sebabnya mengapa dia tidak bertanya tentang boleh tidaknya untuk mengampuni namun lebih jauh lagi, yaitu sampai sejauh mana kita harus mengampuni. Menurut Petrus, dengan mengampuni sampai sebanyak tujuh kali, itu berarti dia sudah melakukan banyak hal. Dia memang benar: mengampuni kesalahan yang sama sebanyak tujuh kali adalah hal yang besar.
Petrus dan para murid lainnya pastilah terkejut dengan jawaban Yesus: “Bukan!, Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Dengan kata lain, mengampuni tanpa batas, tanpa perhitungan. Angka tujuh puluh tujuh mungkin merupakan kiasan yang menunjuk kepada Lamekh, keturunan Kain, yang menerima pembalasan sebanyak tujuh puluh tujuh kali karena telah melakukan kesalahan, dengan kata lain pembalasan yang tanpa mengenal batas (Kejadian 4:23-24).
Yesus menolak pertanyaan Petrus berkenaan dengan batas-batas pengampunan dan menyampaikan sebuah perumpamaan yang menekankan dua hal. Di satu sisi, pengampunan adalah tanpa batas. Dan di sisi yang lain, pengampunan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan; tidak mungkin memisahkan pengampunan Allah dengan pengampunan yang kita tunjukkan satu sama lain.
Tentu saja Raja dalam perumpamaan tersebut bukanlah Allah. Allah tidak pernah bermaksud untuk menjual hamba-hamban-Nya sebagai budak-budak; Dia tidak melemparkan orang ke penjara dan menyiksa mereka. Di dalam perumpamaan tersebut, kita patut memberikan perhatian kepada hal-hal yang tak terduga dan penting sifatnya, terutama hal-hal terperinci yang mengejutkan.
Hutang yang telah dihapuskan sejumlah “sepuluh ribu talenta.” Jumlah ini setara dengan gaji tahunan sekitar 150 ribu pekerja secara keseluruhan, jumlah yang saat ini mungkin dapat disetarakan dengan triliunan rupiah. Sungguh tak terbayangkan seorang raja yang membiarkan dirinya terdorong oleh belas kasihan dan hanya karena permohonan hambanya dia kemudian menghapuskan dari padanya kewajiban untuk membayar jumlah yang luar biasa ini, tanpa syarat. Agaknya sungguh berlebihan Raja itu, dia agaknya bertindak hanya dengan mengikuti lamunannya saja. Yesus ingin agar kita memahami bahwa pengampunan Allah adalah sesuatu yang tidak hanya tidak masuk akal namun juga sesuatu yang tidak dapat dipercaya, pengampunan yang jauh melampaui pengertian pada umumnya serta pengampunan yang jauh melampaui segala perhitungan.
Penolakan sang hamba untuk memberikan penundaan atas pembayaraan hutang kawannya sejumlah seratus dinar, yang setara dengan jumlah gaji seorang pekerja selama empat bulan, juga sangat mengejutkan bahkan sangat menggemparkan. Tentu saja kawan-kawannya yang lain merasa sangat kecewa, sama seperti sang Raja yang naik pitam karena tindakannya itu. Sikap masa bodoh dari hamba itu hampir-hampir bernada sinis. Bagaimana dia bisa menuntut haknya jika dia sendiri berhutang segalannya kepada tindakan Raja yang penuh belas kasih?
Melalui perumpamaan ini Yesus menunjukkan sebuah cermin bagi kita setiap kali kita berpikir bahwa kita harus membatasi pengampunan kita. “Bukankah kamu seharusnya juga berbelas kasih kepada sesamamu sama seperti belas kasihku padamu?” Pertanyaan raja ini juga merupakan pertanyaan Kristus kepada kita. Menuntut kita untuk melihat bahwa mengampuni adalah satu hal yang tidak masuk akal bagi terutama bagi mereka yang baru saja mengenal pengampunan Allah yang berlimpah.
Pengampunan Allah tentu saja datang terlebih dahulu. Pengampunan Allah sama sekali tidak bergantung pada pengampunan dari kita. Namun karena pengampunan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan maka sangat tidak mungkin untuk hidup dalam pengampunan Allah tanpa "mengampuni saudara-saudaramu dari hati.”
Pernahkah saya berkata “Cukup!” Batasan-batasan seperti apakah yang saya tetapkan agar saya siap mengampuni? Mengapa?
Apakah artinya mengampuni dari hati (ayat 35)?
Bagaimanakah pengampunan Allah yang sulit dipercaya dan berlimpah dapat mengubah sikap saya terhadap mereka yang berlaku tidak adil kepada saya?